Lampung Tengah, Senopatinews.com
Menyusul ramainya pemberitaan mengenai rendahnya penyerapan anggaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lampung Tengah (Lamteng), Badan Anggaran (Banggar) DPRD Lamteng angkat suara. DPRD menilai lambatnya realisasi keuangan daerah menjadi sinyal lemahnya tata kelola anggaran yang berpotensi menimbulkan sanksi dari pemerintah pusat.
Anggota Banggar DPRD Lamteng, Firdaus Ali, mengatakan pihaknya menaruh perhatian serius terhadap isu tersebut. Ia menilai seharusnya hingga akhir Oktober, realisasi anggaran daerah sudah melampaui 70 persen. Namun, berdasarkan evaluasi, penyerapan masih rendah dan stagnan di sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
“Kami membaca berita yang beredar dan memang kondisi ini perlu dipertanyakan. Padahal anggaran itu adalah hak masyarakat yang harus segera disalurkan melalui program-program pembangunan,” ujar Firdaus, Rabu (29/10/2025).
Firdaus menjelaskan, penyerapan paling lambat terjadi pada belanja barang dan jasa, sementara belanja pegawai justru mendominasi. Padahal, belanja barang dan jasa merupakan instrumen penting dalam menggerakkan ekonomi daerah dan memberdayakan masyarakat.
“Belanja barang dan jasa itu seharusnya bisa lebih banyak diarahkan untuk kegiatan produktif masyarakat. Kalau mandek, otomatis banyak kegiatan yang ikut tertahan,” ujarnya.
Menurutnya, DPRD akan meminta klarifikasi dari pemerintah daerah dalam waktu dekat. Ia juga menegaskan bahwa OPD yang memiliki tingkat serapan rendah harus dievaluasi, bahkan tidak menutup kemungkinan diberikan sanksi administratif.
“Kita harus berani memberikan sanksi kepada OPD yang tidak mampu merealisasikan anggaran secara efektif. Apalagi tahun 2026 nanti Lampung Tengah akan mengalami pengurangan anggaran sebesar Rp517 miliar dari pemerintah pusat,” tegasnya.
Firdaus mengingatkan, pengurangan tersebut merupakan sinyal agar daerah memperbaiki tata kelola keuangan dan memperkuat ketahanan fiskal. Jika tidak, risiko sanksi yang lebih berat dari pusat bisa saja menimpa Lampung Tengah.
Ia juga menyoroti pentingnya transparansi, koordinasi, dan percepatan program di setiap OPD agar penyerapan anggaran tidak hanya sekadar angka, tetapi benar-benar memberikan dampak nyata bagi masyarakat.
“Banggar akan ada jadwal dengan TAPD dan OPD, karena hal ini telah menjadi sorotan. Ini akan kami tanyakan langsung. Jangan sampai dana daerah lama mengendap di bank, karena akan menimbulkan opini publik yang negatif,” tandas Firdaus.
Hal senada disampaikan Wayan Eka Mahendra, anggota Banggar DPRD Lamteng. Ia menjelaskan, berdasarkan pembahasan di Badan Anggaran, seluruh alokasi kegiatan sebenarnya telah disusun dan dirancang sesuai fungsi serta prioritas masing-masing bidang. Namun, karena belum ada dasar hukum berupa SK Bupati, kegiatan belum bisa dilaksanakan secara penuh.
“Kalau kita berkaca dari sekarang, keharusan untuk merealisasikan anggaran itu sudah harus dilakukan. Karena anggaran itu sudah disahkan di badan anggaran, disusun, dirancang, dan plot-plotnya sudah jelas. Tapi kalau belum terealisasi, ini jadi hambatan,” jelasnya.
Wayan menyayangkan jika keterlambatan realisasi ini terus berlanjut hingga akhir tahun anggaran, karena dapat berdampak pada rendahnya serapan APBD serta menurunkan capaian kinerja daerah.
“Kalau serapan itu kan sebenarnya bukan hanya untuk OPD aja, tapi juga untuk masyarakat. Misalnya program-program hibah di Kesra, banyak yang belum bisa jalan karena menunggu SK dari pemerintah daerah dalam hal ini Bupati,” katanya.
Ia mencontohkan, sejumlah bantuan untuk rumah ibadah seperti pura, masjid, musala, hingga gereja sudah masuk dalam rancangan anggaran dan telah dibahas bersama DPRD, namun hingga akhir Oktober belum bisa dijalankan karena alasan administratif tersebut.
Lebih lanjut, Wayan menjelaskan bahwa tindak lanjut DPRD melalui Banggar akan dilakukan dengan mendorong pembahasan di masing-masing komisi agar pelaksanaan anggaran bisa segera dipercepat.
“Nggak hanya di Banggar, ini bisa dikembalikan ke komisi-komisi. Komisi I sampai IV bisa rapat dengan OPD masing-masing bidang untuk menekankan percepatan realisasi. Jadi kita tahu sejauh mana progresnya dan kita dorong biar maksimal,” paparnya.
Ia menambahkan, kondisi ini menjadi dilema bagi OPD yang sebenarnya siap menjalankan kegiatan, namun khawatir melangkah karena takut menjadi temuan pemeriksaan akibat belum adanya SK yang sah.
“OPD itu sebenarnya sudah siap, tapi karena belum ada dasar hukum yang sah, mereka takut nanti malah jadi temuan BPK. Jadi posisinya serba salah,” pungkasnya. (*)
![]()

